Sabtu, 28 Februari 2009

PALESTINA ADALAH NEGERI FALAISA THIN

Sudah seringkali kita mendengar, melihat berita permusuhan antara bangsa Palestina dan bangsa Israel. Sepertinya tidak pernah berhenti pertikaian itu terjadi. 2 bangsa ini seperti dilahirkan memang untuk berhadap-hadapan.
Pertikaian 2 bangsa yang asalnya adalah perebutan tanah air, oleh sebagian ummat Islam di Indonesia diartikan sebagai pertikaian agama. Seperti pada perang Salib. Dalam 8 kali terjadi peperangan Salib, 7 kali dimenangkan oleh Ummat Islam, dan 1 kali (terakhir) dimenangkan oleh orang-orang kristen.
Rupa-rupanya orang-orang kristen dalam hal ini diwakili oleh Inggris, sangat jeli melihat orang yang sangat memusuhi Islam, yaitu orang-orang yahudi. Sehingga Inggris memanfaatkan orang-orang yahudi dengan mengadakan perjanjian pada tahun 1800-an untuk menghadapi orang-orang Islam (Arab). Tanpa perlu banyak turun langsung berhadapan dengan orang-orang Islam, Inggris cukup mengirimkan orang-orang yahudi ke Arab. Dengan melihat pada sejarah masa lalu, maka mereka (Yahudi) ditempatkan di Palestina.
Pada tulisan kali ini, Aku mencoba menurunkan tulisan Guruku seorang Mursyid Thariqat Qadiriyah Rifa’iyah Musthafawiyah Tajul Khalwatiyah wa Sammaniyah Indonesia, Yaitu : Habib Rais Ridjaly bin bin Hasjim Bin Thahir AQ, yang menjelaskan tentang Palestina. Selamat membaca ...
PALESTINA ADALAH NEGERI FALAISA THIN
20 Januari 2009 jam 17:47
Oleh : Habib Rais Ridjaly bin Hasjim Bin Thahir AQ
Mursyid Thariqat Qadiriyah Rifa’iyah Musthafawiyah Tajul Khalwatiyah wa Sammaniyah Indonesia.
Suatu negeri yang tiada henti-hentinya terjadinya peperangan, tiada lain dan tiada bukan, kecuali semata-mata perebutan hak wilayah. Sejak jaman nabi Musa as, sampai sekarang. Boleh saja bangsa Israel sebagai bangsa imigran di tanah palestina, merasa berhak untuk menempati wilayah Palestina sebagai bagian dari negaranya, dan lebih sangat boleh lagi, jika bangsa Palestina itu sendiri berusaha dengan segala daya upaya untuk mempertahankan wilayah kedaulatan negerinya sebagaimana sejarah telah menorehnya bahwa wilayah Palestina adalah milik dari bangsa Palestina itu sendiri. Hal itu semua adalah dimana negeri tersebut ingin menunjukkan eksistensi dari diri negeri itu sendiri dengan nama Palestina. Terlepas dari situasi politik, ataupun kehendak politik oleh para politisi dunia arab (baca; dunia Islam), dan dunia Barat (baca; selain Islam), tapi tanpa disadari secara serius, seperti adanya kesengajaan yang sangat mendasar atas alasan pemberian nama wilayah dengan sebutan/nama “Palestina”. Kata “Palestina” yang dahulu disebut Filistin, adalah berasal dari suku kata arab yaitu “Falaisa thin” yang kemudian berubah menjadi satu kata Falestin atau Filistin. Padahal kata Falaisa thin memberi artian “maka tidak memiliki tanah”. Kalau saja Negara/wilayah dari suatu negara sudah memberi arti tidak memeiliki tanah, lalu perjuangan apalagi yang diharapkan untuk bisa memiliki tanah/wilayah tersebut, sementara setiap detik tanah/wilayah tersebut selalu mendoakan dirinya dengan namanya itu sendiri agar tidak mempunyai tanah/wilayah kekuasaan sesungguhnya.
Saya pernah mengusulkan kepada pimpinan tertinggi PLO waktu itu Yasser Arafat, melalui surat saya (entah sampai entah tidak), agar segera menukar nama dari negeri yang tuan pimpin Palestina dengan suatu nama yang sangat memiliki arti penguasaan atau kepemilikan atas wilayah. Tapi ternyata sampai hari ini masih tetap bernama Palestina dengan segala atribut perseteruannya. Mungkin saja hal seperti ini dianggap sepele oleh para petinggi otoritas Palestina yang saat itu Yasser Arafat, tapi sesungguhnya saya katakan bahwa hal tentang nama Palestina itu bukannya hal yang harus dipandang sepele, dan kesemuanya itu terkait erat dengan negara yang memperkarakan sebagian wilayah Palestina tersebut sebagai negara Israel, yaitu Amerika.
Palestina yang saya katakan berasal dari kata arab Falaisa thin yang berarti tidak punya tanah/wilayah kekuasaan. Perubahan kata sebutan dari kata arab kedalam bahasa lain, ini sudah sering terjadi, misalnya dalam bahasa Indonesia ada kata “Pemalas” yang memberi arti “orang yang tidak memiliki semangat atau kehendak untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu kepada dirinya sendiri”, yang kemudian lebih memberi artian bahwa Pemalas; tidak punya apa-apa. Jika mau ditelaah, maka kata “Pemalas” itu berasal dari kata arab “Famalaisa” yang artinya “tidak mempunyai apa-apa”. Apakah ada seorang pemalas yang kaya atau memiliki banyak benda sebagai tanda kesuksesannya. Ada contoh lain dari nama daerah di wilayah Papua, tepatnya di daerah Fakfak, dimana ada dua desa yang bernama Desa Waqoom dan Desa Tanama, jika dilihat dari perkembangan pembangunan infrastruktur maupun perekonomiannya, maka daerah Waqoom lebih maju dibanding daerah Tanama. Perekonomian di daerah Tanama, hanya berkembang dengan jualan sehari-hari dari penduduknya, yaitu pembuatan manisan pala dan jajanan kecil lainnya, sedangkan bagi daerah Waqoom, sangat cepat perkembangan ekonominya dan pembangunan menjamur dimana-mana. Kenapa demikian, hal ini tidak terlepas dari peran nama daerah masing-masing. “Waqoom” jika dikembalikan kedalam kata arab, maka menjadi kata “Wa Qum” yang berarti “maka bangkitlah”, sedangkan “Tanama” jika dikembalikan kedalam kata arab, maka menjadi kata “Tanamu” yang berarti “maka tidurlah”. Orang-orang Jawa selalu memperhitungkan nama dengan segala aspek kebaikan, agar anak tersebut kelak menjadi anak yang baik.
Kita kembali pada kata Palestina, negeri yang terkoyak-koyak sejak jaman adanya nama Filistin itu. Setelah bangsa Palestina salah kaprah dalam nama negerinya, maka akan lebih salah kaprah lagi saat mereka menghadapi lawannya yang mereka sebut sebagai bangsa Israel, bahkan kemudian lebih-lebih lagi menjadi sangat salah dalam ucapan mereka, saat mereka menyebut namanya sebagai orang Filistin melawan Israel. Dalam sejarah kenabian, nabi Ya’kub menerima hak kenabiannya dari ayahnya nabi Ishak dengan cara siasat, sehingga kakaknya yang bernama Essau yang tadinya sedang mempersiapkan syarat untuk menghambil hak kenabian atas perintah ayahnya nabi Ishak, menjadi tidak mendapatkan hak kenabian tersebut, karena diselingkuhi oleh ibunya Ya’kub kepada Ya’kub. Kata nabi Ishak kepada anaknya, wahai Essau, pergilah berburu seekor domba, lalu masaklah dengan enak, kemudian berikan aku makan, sesudah itu akan aku berikan hak kenabian kepadamu. Essaupun segera berangkat dengan gembira untuk pergi berburu domba buruan. Dalam masa tenggang perburuan Essau, ibunya Ya’kub menyusun rencana licik, segera ia memotong seekor domba dan memasaknya dengan enak, kemudian dengan segera menyuruh Ya’kub anaknya memberfi makan kepada ayahnya dan mintailah berkat kenabian itu, jika tidak, maka kakakmu Essau yang akan mendapatkannya. Ya’kub kecil ketakutan, ia menyarankan agar ibunya membatalkan niat tersebut, tapi karena desakan ibu yang ambisius, sekaligus yang ia cintai begitu kuat, maka Ya’kub yang ketakutan itu mempersiapkan dirinya untuk rencana persengkokolan tersebut. Kata Ya’kub; Ibuku, nanti kakakku Essau sangat marah kepadaku, lagi pula suara Essau berbeda dengan suaraku, dan bahkan tangannya berbulu dan tanganku tidak. Ya’kub menyatakan kegentarannya menghadapi ayahnya dengan tipu daya ibunya. Saat itu mata nabi Ishak telah sangat rabun karena usia yang sudah tua. Sedikit membentak Ibunya Ya’kub mengatakan; Tidak apa-apa, jangan pikir tentang kemarahan kakakmu Essau, ini kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali, suaramu engkau rendahkan agar nyaris sama dengan suara kakakmu, dan pakailah bulu binatang ditanganmu, agar ayahmu mengetahui kalau engkau adalah Essau. Kemudian Ya’kub beranjak (setelah menerima makanan yang dimasak ibunya, iapun maju menemui ayahnya), Abuya,,,, kata Ya’kub, telah aku persiapkan makanan, abuya makan dan sesudah itu berkati aku. Nabi Ishak agak terkejut dalam firasatnya;..engkau siapa… ! dengan suara sedikit berteriak, dengan sedikit gemetar Ya’kub menjawab, ….aku Essau, yang engkau suruh untuk membuat makanan yang kemudian engkau makan dan memberkati aku dengan berkat kenabianmu. Mendekatlah kepadaku wahaim anakku, kata nabi Ishak, agar aku mengetahui engkau. Setelah diraba tangannya, maka kata nabi Ishak,… bau badanmu adalah bau Ya’kub, tapi suaramu dan bulu tanganmu adalah Essau. Saat itu Ya’kub sangat ketakutan atas skenario licik ibunya, takutnya jangan sampai ketahuan oleh ayahnya. Tapi tentulah seorang nabi Ishak gito loh, masa tidak mengetahui. Karena sejarah harus mencatat akan lahir suatu bangsa yang disebut bani Israel yang penuh dengan siasat liciknya, maka awal turunannya dalam berkat kenabiannyapun dijadikan dengan siasat selicik itu. Setelah nabi Ishak selesai memakan makanan tersebut, dipanggilnya Ya’kub dengan nama Essau, kemudian dibisikan rahasia kenabiannya itu pada telinga kirinya. Setelah selesai bisikan itu, dengan segera ibunya memanggil Ya’kub dan disuruh pergi sejauh mungkin dari rumahnya, karena jika Essau mengetahui Ya’kub telah mengambil dengan cara tipu daya itu, maka bisa terjadi tumpah darah antar saudara. Ya’kub sangat sayang kepada ibunya, dan tidak mau pergi karena akan berpisah dari ibunya, tapi atas paksaan ibunya sebagaimana paksaan yang pertama kali untuk merebut hak kenabian dari Essau kakaknya, maka Ya’kubpun pergi dari rumahnya bahkan dari negerinya dengan berlari tanpa henti-hentinya, bahkan ditengah malampun dia terus berlari sampai menjelang subuh. Karena Ya’kub berlari didalam kegelapan malam, maka digelar dengan sebutan Israili, yang berarti berlari dalam keremangan malam. (Isra : Nabi berjalan diwaktu malam menuju Baitul Maqdis). Saat Essau pulang dengan harapan yang memuncak sampai ke ubun-ubunnya, tapi kemudian menemukan semua kejadian telah terjadi tidak sebagaimana yang diharapkan, iapun menangis penuh penyesalan, tapi tiada menyimpan sakit hati kepada ibunya Ya’kub, maka Nabi Ishak menasehati anak laki-laki yang ia sayangi : Essau, kata nabi Ishak, adikmu Ya’kub telah mengambil hak kenabian dengan siasat memakai namamu, yang mana hak tersebut seharusnya kepadamu, tapi walaupun demikian, engkau dengarlah dan ikutilah apa yang ia ucapkan, hiduplah engkau dengan kekuatan kedua tanganmu serta busur panahmu. Maka sejak itu nabi Ya’kub dipanggil dengan sebutan Israil. Sehingga kita bangsa yang beradab tidak boleh memaki para nabi, maka janganlah sekali-kali ada yang mengatakan misalnya ; hancurkan Israel, atau menghujat dengan sebutan Israel saja, tapi agar hujatan mengenai sasarannya, maka saat menghujat bangsa tersebut, harus dengan tambahan kata “bani Israel”. Misalnya ; … hancur bani Israel, serang bani Israel…., dan lain-lainnya. Ingat ! yang jahat bagi bagsa yang dijahati bukan Israel (Ya’kub), tapi Bani Israel anak turunan Ya’kub. Kini lihatlah bani Israel dengan berbagai siasatnya, tiada salah lagi adalah contoh yang sama pada saat ibunya Ya’kub merencanakan siasat licik itu.
Bangsa Palestina harus segera memikirkan siasat pergantian nama negaranya serta wilayah negerinya dengan sebutan yang memberi artian “kepemilikan dan penguasaan”, disamping itu tidak boleh melawan Israel, Essau yang kuat saja kalah, tapi harus menanam keyakinan bahwa yang dilawan adalah Bani Israel. Disamping itu harus pula berkeyakinan tentang pendukung negara bani Israel yaitu Amerika, bahwa negara paman Sam itu bukan bernama Amerika, karena kata Amerika, jika dikembalikan kedalam kata bahasa arab menjadi kata “Amir-ka”, Amir berarti Raja atau yang memerintah, dan dlamir “ka” menunjukkan “engkau”, maka kata Amerika memberi artian “yang memerintah engkau”, (engkau dalam arti ini adalah dunia). Bagaimanakah lagi kita bisa menang atas Amerika, jika namanya saja sudah menunjukkan pemerintahan atas segala. Jika Palestina dan bangsa-bangsa yang tertindas lainnya ingin meraih kemenangan atas Amerika dan sekutu-sekutunya, maka buatlah suatu keputusan yang bersifat kebangsaan, dengan menanamkan tekad yang kuat setiap hari kedalam pikiran, jiwa dan hati, dengan menyatakan melalui suatu afirmasi yang kuat pula, bahwa :
KAMI TIDAK MELAWAN ISRAEL NABI ALLAH, TAPI KAMI MELAWAN BANI ISRAEL TURUNAN NABI YA’KUB YANG TELAH MEMBANGKANG.
KAMI TELAH MENGGANTIKAN NAMA AMERIKA PADA SETIAP JIWA KAMI DENGAN NAMA ASFALIN YANG BERARTI DIBAWAH TELAPAK KAKI.
Mungkin saja dengan pengertian-pengertian seperti itu, maka negeri atau bangsa yang tertindas bisa meraih kemenangannya. Saya sendiri mencintai perdamaian dan tidak bermusuhan dengan siapapun, apalagi dengan Amerika dan Israel, kalimat afirmasi diatas hanyalah sebagai suatu contoh belaka, dan bukan provokasi murahan. Kepada bangsa Israel dan bangsa Amerika, saya mohon dimaafkan.
Sebagai penutup, saya ingin tulis sebuah lirik lagu disaat saya masih kecil, orang tua saya mengajarinya untuk membangunkan semangat yang hampir punah atas syiar islam ;
Api Islam makin bercahaya, Makin berkobar dilapangan dunia
Putra putrinya rakyat semua, Rasul mulia sayidid dunia
Tanamlah bibit iman dan tauhid, Itulah dasar kita umat islam
Junjunglah tinggi senantiasa, Menjunjunglah Islam yang mulia
Catatan : Islam berarti "selamat", sudakah engkau mencapai keselamatan itu wahai yang beragama ?

Jargon Kembali kepada Al-Quran & As-Sunnah

Sudah sering kita mendengar jargon kembali kepada Al-Quran & As-Sunnah. Kata-kata ini diucapkan oleh sebagian ustad-ustad di mesjid, mushalla & pengajian mereka. Begitu pula oleh pengikut-pengikutnya, bila mereka melihat ada sebuah perbuatan ibadah yang menurut mereka tidak ada petunjuk dalam Al-Quran maupun haditsnya.
Saya mencoba mencari jawaban atas jargon yang sering mereka pakai itu. Adakah jargon seperti itu dalam Al-Quran maupun As-Sunnah? Dalam penelitian saya sampai saat ini ternyata tidak ada ajaran dalam Islam, tidak ada dalam Al-Quran, tidak ada hadits yang menyatakan untuk kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Kalau dikembalikan kepada ajaran mereka bahwa perbuatan ibadah yang tidak ada ayatnya di Al-Quran dan Haditsnya berart bid'ah. Dan dalam pemahaman mereka setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap hal yang sesat masuk neraka. Maka jargon kembali kempada Al-Quran dan As-Sunnah adalah perbuatan bid'ah (seperti mereka maksud).
Sabda Nabi yang yang menceritakan tentang Al-Quran & Hadits salah satunya berbunyi "Aku tinggalkan kepada kalian 2 warisan. Bila kalian berpegang kepada keduanya, maka kalian selamat. 2 warisan itu adalah Al-Quran & Sunnahku". Pegang Al-Quran & Sunnah Nabi dengan kuat. Dalam perjalanannya ummat Islam dalam berpegang kepada Al-Quran & Sunnah Nabi Muhammad SAW ternyata mengalami perbedaaan sampai pada perselisihan, pertengkaran dan permusuhan. Bahkan ada yang mengkafirkan. Semua ini ternyata pasti terjadi, sehingga Allah SWT memberinya solusi dalam QS: An-Nisa' (4) : 59 yang berbunyi "Yaa ayyuhal ladziina aamanuu, athii 'ullah wa athii 'ur Rasul, wa ulil amri minkum. Fa in tanaaza'tum fii syain, fa rudduuhu ilallaah war rasul in kuntum mu'minuuna billaahi wal yaumil akhir. Dzaalika khairun wa ahsanu ta' wiilaa". Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu; lalu jika berselisih tentang sesuatu hal dikalanganmu sendiri, hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul (Nya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir; itu lebih baik dan lebih indah akibatnya dan kesudahannya.
Dalam beberapa terjemahan Al-Quran termasuk dari Departemen Agama, pada arti "hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah" ditambahi tulisan "(Al-Quran)". Dan kalimat "Rasul" ditambahi tulisan "(Sunnahnya)". Tapi pada tulisan Allah & Rasul sebelumnya tidak ada tambahan tulisan. Kalau kita perhatikan itu adalah sebuah cara mengada-ada (bid'ah). Saya pernah bertanya kepada teman yang setuju bahwa mengembalikan kepada Allah berarti mengembalikan kepada Al-Quran, apakah Al-Quran itu Allah? Sehingga kalimat Allah diberi tulisan dalam kurung Al-Quran. Dan As-Sunnah itu Rasul? sehingga kalimat Rasul itu diberi tulisan dalam kurung As-Sunnah/Sunnahnya. Dia menjawab tapi Al-Quran itu kan firman-Nya. Saya jawab tapi Al-Quran kan bukan Allah. Saya sampaikan bila jawabanmu benar, tentu Allah akan berfirman "fa rudduhu ila hadihil Kitab", seperti juga tersebut dalam ayat 2 surat Al-Baqarah.
Perselisihan terjadi karena perbedaan dalam menafsirkan Al-Quran & As-Sunnah, maka tidak mungkin dikembalikan lagi kepada Al-Quran & As-Sunnah. Karena Al-Quran & As-Sunnah tidak bisa memberikan petunjuk. Hanya Allah & Rasul-Nya yang bisa memberikan petunjuk. Mestinya kita harus mencari cara (ilmu) bagaimana bisa mengamalkan Al-Quran itu, yaitu : mengembalikan suatu perselisihan kepada Allah & Rasul-Nya untuk mendapatkan solusinya. Bukannya merubah isi Al-Quran disesuaikan dengan pikirannya, hanya karena kebodohannya (red : tidak mengetahui cara mengembalikannya kepada Allah & Rasul). Apakah hanya karena tidak mengetahui bagaimana mengembalikan perselisihan yang terjadi kepada Allah & Rasul-Nya , lalu bisa seenaknya merubah isi Al-Quran?
Saya ingat cerita tentang isi kitab Taurat yang menyebutkan bahwa akan datang seorang Nabi/Rasul terakhir yang menjadi salah satu derajatnya adalah Penghulu para Nabi & Rasul. Orang-orang Yahudi sangat mengharapkan bahwa Nabi/Rasul terakhir adalah dari golongan mereka. Ketika lahir seorang Nabi/Rasul terakhir dengan tanda-tanda seperti yang disebutkan dalam kitab Taurat, dan itu dari golongan orang Arab (Saudara mereka), mereka tidak suka akan itu. Lalu dengan segala macam cara mereka berusaha untuk membunuh Nabi/Rasul terakhir ini. Mereka ingkari (kafir pada) isi kitab Taurat, hanya karena Nabi/Rasul itu bukan dari golongan mereka.
Tentu kita tidak ingin ingkar kepada Al-Quran seperti yang dilakukan oleh sebagian orang Yahudi ingkar kepada Taurat. Kita harus menjunjung tinggi isi Al-Quran dengan tidak merubah isinya. Bila pemahaman kita tidak sesuai dengan Al-Quran, seharusnya kita merubah pemahaman kita agar sesuai dengan Al-Quran. Jangan sebaliknya isi Al-Quran diubah agar sesuai dengan pemahaman kita. Bila ada yang memaksa merubah isi Al-Quran agar sesuai dengan pemahamannya, berarti dia telah ingkar kepada Al-Quran sebagaimana sebagian orang Yahudi ingkar kepada Taurat.
Dulu pada masa Rasul, bila pertanyaan yang ditanyakan oleh Nabi kepada sahabat-nya tidak bisa dijawab oleh para sahabat, maka mereka (sahabat-sahabat Nabi) akan menjawab "hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui". Jadi mereka serahkan (tawakkal) persoalan itu kepada Allah & Rasul-Nya. Jawaban para sahabat sudah sesuai Al-Quran.
Adakah engkau benar-benar beriman kepada Al-Quran & As-Sunnah, wahai orang-orang yang beragama Islam?

Ada Tanda Keyakinan Dalam Dirimu

Hari Selasa 24-2-2009, Aku mengikuti pelatihan MBS (Make Better Solution), yang intinya menjelaskan kekuatan niat yang ditaruh di dalam otak. Bila sebuah niat diaffirmasi di otak kiri, kemudian divisualisasikan di otak kanan, maka niat itu akan menjadi pesan yang dasyat. Dengan cara dimaksud, maka pesan itu akan tersimpan dalam bawah sadar, dan memberikan fakta yang menakjubkan.

Dengan contoh menggabungkan tangan kiri & kanan dengan mempertemukan garis-garis tangan kiri dengan tangan kanan, lalu ditempelkan kedua tangan itu seperti posisi bertepuk, maka tampak bahwa pada jari tengah ada perbedaan. Ada jari tengah tangan kanan lebih panjang dari jari tengah tangan kiri. Dan ada pula yang sebaliknya.
Berikutnya lalu melakukan affirmasi pada otak kiri dengan mengatakan bahwa jari tengah yang lebih panjang menjadi pendek dan kemudian divisualisasikan pendek. Diucapkan dengan keyakinan penuh. Bila belum yakin, diucapkan lagi sampai yakin. Kemudian setelah itu, kami disuruh saling menempelkan tangan kiri & kanan seperti contoh sebelumnya. Ternyata jari tengah yang tadinya panjang menjadi pendek, dan sekarang jari tengah tangan kiri & kanan menjadi sama. Hampir sebagian besar yang ikut pelatihan menyaksikan demikian. Sepertinya kami baru saja menerima sebuah kemukjizatan. Sungguh ruuuaaar biasa.....
Dari pelatihan itu ada sebuah penjelasan dr. Aisyah menjadi catatanku yaitu QS: 51 : 23. Bunyinya adalah sebagai berikut "Fawa rabbi As-samaa i wal Ardli, Innahuu la haqqun mitsla maa innakum tanthikuun". Artinya "Maka demi Tuhan langit & bumi, sesungguhnya itu adalah nyata benar, seperti apa yang kamu ucapkan".
Sesampainya di rumah, Aku buka Al-Quran dan aku baca pada ayat dimaksud. Aku dapatkan ilmu yang menakjubkan, karena pada ayat sebelumnya yaitu 20-22 merupakan pendahuluan dari ayat 23. Bunyinya "Wa fi Al-Ardli aayaatul lil muuqiniin. Wa fi anfusikum afalaa tubshiruun. Wa fi As-samaa i rizqukum wa maa tuu'aduun." Artinya "Dan di bumi ada tanda bagi orang yang yakin. Dan juga dalam dirimu, Apakah tiada kamu perhatikan. Dan di langit adalah rizkimu, dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu".
Sungguh luar biasa bahwa pada diri manusia ada tanda keyakinan. Sementara kebanyakan manusia untuk mencari hal keyakinan (keimanan) mencari di luar dirinya. Sehingga mereka tidak menemukan apapun, kecuali hanya persangkaan belaka.