Jumat, 20 Juni 2008

Jangankan 2 anak ...

Pada malam pertama sang istri penganten baru barkata pada suaminya "Mas, kita gak usah banyak-banyak punya anak. 2 anak cukup". Perkataan sang istri didasari pada pekerjaan suaminya yang masih belum menentu.

Sebaliknya sang suami merasa malu, bila dianggap tidak mampu. Kemudian dia berkata pada istrinya "Dik, jangankan 2 anak, 2 istri aku sanggup".
He...he...he....

Langsung Mati

Hari Rabu 17-6-2008 sekitar jam 10.30 seorang ibu teman kantor menawarkan makanan gorengan padaku. Aku berfikir sesaat ingat pesan dokter gizi yang pada hari Senin 2 hari sebelumnya telah memberikan konseling padaku agar mengurangi makanan gorengan, karena kolesterolku melebihi ukuran normal orang sehat.
Ibu itu bertanya "Ada apa pak Agus?". "Dokter memberikan saran padaku, agar mengurangi makanan gorengan untuk mengurangi kolesterolku" Jawabku.
Tiba-tiba pak Rohadi teman sekantor nyeletuk "Jangan dipikir pak Agus, makan aja". "Yang suka mikir itu yang malah jadi penyakit" Serunya lagi. Aku kaget mendengar celetukannya, karena dia lakukan dari belakangku. "Iya, tapi kalau dimakan langsung mati" Kataku. "Ha..ha..ha" Sambil Aku tertawa.

Rabu, 18 Juni 2008

Obrolan Dengan Tukang Pijat

Sudah 1 bulan lebih sejak Aku jatuh pada saat acara Outbond Telkom Bekasi di Cangkuang Cidahu Sukabumi 2-3 Mei 2008, belum juga ke tukang pijat. Padahal rasa sakit pada pergelangan tangan kanan akibat jatuh itu masih terasa.

Akhirnya hari ini, Rabu 18-6-2008 setelah shalat Ashar Aku memutuskan berangkat ke rumah tukang pijat Haji Mustofa namanya yang berlokasi di Mesjid Raya Jati Mulya Bekasi. Dia tinggal di sebelah mesjid itu. Sehari sebelumnya Aku telah membuat janji dengannya.

Seperti biasa, sebelum berangkat Aku call dulu untuk memastikan bahwa yang bersangkutan ada di rumah. Dan ternyata hari ini dia ada di rumah dan Aku langsung meluncur menuju rumahnya. Sampai di rumahnya Aku diterima dengan senyuman yang tulus sambil menjawab salam Aku. Kemudian Aku dipersilahkan masuk.

Aku senang pijat ke pak Haji Mustofa, karena tidak perlu copot baju untuk dipijat, apalagi celana (hus... gak boleh bayangin jorok, maksudnya celana panjang). Karena Dia tidak menggunakan minyak/hand body ataupun sejenis itu untuk memijat pasiennya. Cukup dengan menggunakan jari-jemarinya yang kuat Dia pijat badan pasiennya.

Mulai dari kaki kanan Dia memijat badanku hari ini, sambil juga memulai obrolan yang muncul dalam benaknya. "Bagaimana pekerjaan di kantor pak?" Dia mulai bertanya. "Sibuk, ya?" lanjutnya dengan cepat, belum sempat aku menjawab pertanyaan pertama. "Kadang-kadang gak juga" Jawabku. "Diterima dengan ikhlas saja" Dia mulai menasehati Aku. "Iya sih..." Jawabku. "Kalau ikhlas, kan enak! Semua akan berjalan lancar-lancar saja" Nasehatnya berlanjut. "Tul" Aku menjawab, sambil menahan rasa sakit akibat pijatan jarinya pada kaki kananku. Fokus terhadap rasa sakit menjadi berkurang, karena Aku harus menjawab pertanyaannya. Barangkali obrolan ini adalah caranya, agar si pasien tidak terlalu sakit merasakan pijitan jarinya.

"Kemarin pak Haji Solikhin kemari, membagi kacang hasil panen sawahnya" Dia bercerita, tanpa harus merasa bersalah telah menghentikan tema pembicaraan sebelumnya. Sementara Aku masih fokus pada persoalan nasehat apalagi yang akan Dia sampaikan. "Oh, iya?" kataku dengan nada terkejut. Padahal tadi sebelum aku dipersilahkan masuk ke rumahnya, Aku telah telepon pak Haji Solikhin. Pak Haji Solikhin adalah mantan karyawan Telkom Bekasi yang telah mengambil pensiun dini (PENDI) tahun 2007. Pak Haji Solikhinlah yang telah memperkenalkan pak Haji Mustofa padaku tahun 2006. Waktu Aku telepon, pak Haji Solikhin masih di sawah sedang memotong buah pisang Tanduk dan pohonnya. Dia cerita bahwa beberapa hari yang lalu panen kacang tanah & padi. Namun aku tidak sempat bicara ke pak Haji Mustofa, karena menahan rasa sakit pijatan tangannya di punggungku. "Pak Haji Solikhin rajin ke mesjid" Katanya. "Oh, iya?!" jawabku juga dengan nada seperti terkejut. Aku sebenarnya sudah tahu kalau pak haji Solikhin senang ke mesjid. Karena waktu dinas di Telkom Bekasi, Dia rajin sekali shalat di mesjid. Biasanya 2 atau 3 menit sebelum azan Dia sudah berangkat ke mesjid. Kadang-kadang dia yang azan. Jadi aku sudah paham sekali masalah ini.

"Pak Agus anaknya berapa?" Dia membuka pembicaraan yang lain. "Lima" Jawabku, sambil aku meringis saat tangannya memijat punggung kiriku. Karena 2 hari sebelumnya waktu aku bangun tidur punggung sebelah kiri sakit sekali. Mungkin aku salah tidur kata orang begitu. "Masih bisa nambah nih" Katanya. "Apanya yang nambah?" pura-pura aku bertanya sambil tertawa. "Boleh dua-duanya" jawabnya. Rupanya dia mengerti maksud perkataanku. Dia berkata dengan suara pelan seperti takut didengar orang lain dalam rumah itu "Sebenarnya bila perempuan menjaga diri waktu di rumah, misalnya tetap harum, paling tidak jangan bau kecut, cantik maka laki-laki tidak akan berpaling, seperti masih pengantin baru dulu". Aku tersenyum mendengar perkataannya. Sepertinya rasa sakit hilang. "Betul kan pak Agus?" Dia melemparkan pertanyaan yang tujuannya meminta persetujuan. Aku cuma tertawa. Dalam hati aku membenarkan perkataannya. "Tapi tidak juga" hatiku berkata. "Bila laki-laki memang tukang kawin, walaupun yang di rumah sudah menjaga diri, tetap saja dia akan kawin lagi" Lanjut hatiku. "Ahhh sudahlah, gak usah diperpanjang" Gumanku dalam hati.

Sebenarnya banyak cerita obrolan dengan pak Haji Mustofa, cuma Aku tidak ingat semua. Cuma yang pasti aku dipijat selama 1 jam 05 menit. Dan aku merasa segar sepertinya kesehatanku betambah baik.

Selasa, 17 Juni 2008

Gerah Dengan Buku Yang Menggugat Sufi

Dengan sikap emosional dan gerah, Parto menentang beberapa buku yang mengguat tasawuf. Sudah bisa ditebak buku itu isinya pasti menghujat, meyesatkan dan menyampahkan tasawuf.

"Ini bagaimana kawan. Kita dihabisi dengan penuh kehinaan. Apa kita bakar buku-buku ini?"

Kawannya, Sugih namanya, yang diajak bicara tadi melihat satu persatu buku itu sambil senyum-senyum.

"Gih, kamu kok malah tertawa-tawa seperti itu. Ini banyak orang bisa sesat membaca buku ini, dan mereka bisa anti terhadap ajaran tasawuf."

"Ngapain kamu gerah To, Lha wong zamannya Ibnu Athaillah saja, sudah dihujat oleh Ibnu Taymiyah yang begitu hebat. Tapi toh tak bergeming. Sedangkan buku-buku ini yang menulis klas kambing saja, penulis pinggir jalan, seperti penjaja kacang goreng saja ...."

"Tapi ini kan ada juga penulis dari Syeikh Saudi?"

"Apalagi. Kan semakin jelas."

"Jelas apanya, mereka syeikh dan ulama ..."

"Nah semakin jelas pula, dan semakin gembira kita ..."

"Saya gak mudeng Gih, kenapa kamu begitu ...?"

"Lha iya. Alhamdulillah tasawuf digugat. Itu justru akan membesarkan pohon Sufi kita, menjadi pupuk bagi keagungan dan kerindangan ajaran Nabi yang paling inti ..."

"Kamu ini malah bikin aku pusing ..."

"Pohon itu besar karena pupuknya, rawatannya. Lebih baik kita pakai pupuk kandang anti pestisida. Kotoran-kotoran sapi itu lho...masak kamu ngak ngerti..."

"Aku nggak ngerti Gih..."

"Anggap saja ucapan mereka mereka, ulasan mereka itu, kotoran yang menjadi pupuk bagi kita. Jangan dibuang. Biarkan saja. Lha wong para Nabi dan para wali dulu musuhnya orang-orang munafik, orang-orang zalim, orang-orang fasiq, nah, kita belajar dan bercermin saja di sana. Nggak usah pusing-pusing lah, malah alhamdulillah..."


Parto hanya geleng kepala sambil menghela nafas panjangnya.

"Jadi nggak perlu di counter Gih?"

"Di counter sambil guyon, dan ditunggu sambil tidur..."

Sumber : Majalah "Cahaya Sufi", Edisi Maret 2008